Senin, 19 April 2010

BAGIAN PERTAMA

Pintu kamar terbuka perlahan, bersamaan dengan suara derit yang seolah berfungsi sebagai penanda bagi -apapun itu- yang sedang berada di dalam kamar bahwa penghuni yang sebenarnya sudah datang.

Aku masuk kedalam kamar dan menutup pintu.

Gelap. Barulah tak lama kemudian aku dapat menemukan saklar lampu sehingga sedikit cahaya dari lampu tidur kecil menerangi kamar itu, temaram saja.

Kamar ini jelas bukan kamar yang nyaman untuk ditinggali kalau tidak mau dibilang absurd, sedikitnya ada tiga buah asbak yang sudah terlalu penuh dengan puntung rokok dan baju-baju kotor yang terserak begitu saja di lantai, dindingnya dicat hitam dan dipenuhi dengan tulisan-tulisan kapur putih yang terlihat acak dan pudar di beberapa bagiannya, sedangkan satu sisi terakhir disesaki dengan puluhan selebaran pengumuman orang hilang yang menempel tumpang tindih karena sudah tidak ada ruang lagi. Aku selalu merasa potret orang-orang hilang tersebut punya kesedihan bercampur amarahnya sendiri-sendiri dan saling berebut ingin didengarkan, atau sebaliknya mereka justru mendapatkan ketenangan dan kehidupan yang mereka cari setelah dianggap "hilang" oleh keluarga atau siapapun itu yang merasa kehilangan atas bebasnya mereka.

Lalu ada lemari buku di sudut dinding dekat jendela, lemari buku itu adalah satu-satunya bukti bahwa penghuni kamar ini adalah makhluk yang beradab dan berbudaya, bahwa aku tidak mungkin meludah sembarangan, menyerobot antrian, atau selapar-laparnya membius gelandangan yang tertidur pulas di emperan toko lalu membawanya pulang untuk kujual organ-organ tubuhnya ke pasar gelap dan memakan sisa-sisa dagingnya mentah-mentah, setidaknya aku belum pernah berpikir untuk mencobanya. Menurutku membaca buku adalah suatu perjalanan dari ketidaktahuan yang berubah menjadi suatu perasaan aneh ketika selesai membacanya, senang rasanya mengetahui bahwa aku mengisi sedikit lagi rongga di dalam kepalaku dengan suatu hal yang baru.

Aku menyewa kamar ini 2 tahun yang lalu, di hari kelima aku melarikan diri dari rumah. Pemilik kamar kontrakan ini -ibu-ibu separuh baya yang dengan sedikit memaksa minta dipanggil Tante- bilang aku bebas melakukan apa saja di kamar ini asalkan aku membayar tepat waktu, 450 ribu rupiah setiap bulannya. Persis seperti yang kucari. Tante berjanji selama ia belum mendapatkan suami lagi ia tidak akan merubah peraturan itu. Yang kutahu suaminya melarikan diri bersama salah satu wanita yang juga penghuni salah satu kamar kontrakannya. Hanya itu yang dia ceritakan selama 2 tahun ini, tak lebih. Kalau melihat kelakuan serta dandanannya selama ini sepertinya peraturan itu takkan berubah untuk waktu yang lama.

Dan sepertinya ia benar-benar menepati janjinya, aku pernah melihat salah satu penghuni kontrakan ini bersama 3 temannya membopong seorang gadis muda yang sudah sangat mabuk kedalam kamarnya dan membuatku tak bisa tidur semalaman karena gadis itu menangis kesakitan sepanjang malam selagi pemuda-pemuda tengik itu tertawa-tawa tak kalah mabuknya dan berulang kali membentaknya agar ia diam, aku juga pernah menemukan seorang laki-laki tertidur di depan pintu kamarnya ketika aku pulang menjelang pagi dan aku baru tahu keesokan harinya kalau orang itu ternyata sudah mati dengan jarum suntik masih menempel di lengannya ketika 2 orang polisi berpenampilan seperti copet kereta api mengetuk kamarku menanyakan berbagai pertanyaan tentang orang itu yang sebagian besar kujawab dengan jawaban tidak tahu. Dan Tante tidak perduli, yang ia kutuk hanya karena orang itu meninggal sebelum membayar uang sewa kamarnya 2 bulan terakhir.

"Bayar saja uang sewamu paling lambat tanggal 5 setiap bulan. Setelah itu kamu mau menyembah setan? Silahkan, asalkan jangan berisik."

Aku ingat sekali pesan Tante sewaktu aku pertama kali pindah kesini, dan tampaknya dia punya definisi berisik yang sangat berbeda denganku.

Tetangga sebelah kananku bernama Pak Dar, supir taksi yang tak pernah berpakaian seperti layaknya supir taksi ketika dinas, kendaraannya pun tidak terlihat seperti taksi jika di atasnya tidak ada lampu bertuliskan taksi yang kini sudah berwarna putih polos karena tulisannya sudah pudar. Tebakanku Pak Dar berumur sekitar 60an, badannya kurus seperti meranggas dimakan angin malam, wajahnya tipikal seperti orang Jawa kebanyakan dengan tulang pipi yang menonjol dan dibungkus kulit tipis berwarna coklat matang. Rambutnya berwarna perak dan selalu disisir rapih ke belakang. Aku adalah teman bicara satu-satunya dan aku memang menyukai orang tua ini, ia bisa begitu bijak dan spontan dalam waktu yang bersamaan, ia bisa begitu fanatik sekaligus skeptis tanpa terlihat bodoh, tapi aku tahu pasti di balik itu semua ada perasaan kesepian yang sangat kuat, yang membuatku tak pernah punya cukup alasan untuk menanyakan tentang hal itu kepadanya.

Ia seperti punya aturan tidak tertulis "Jangan pernah tanyakan masa laluku kecuali aku yang menceritakannya terlebih dahulu kepadamu."

Pak Dar punya kebiasaan membawa pulang barang-barang penumpang yang tertinggal di dalam taksinya, apapun itu, dan aku terkejut ketika mengetahui barang apa saja yang ditinggalkan secara tidak sengaja oleh penumpang taksi, dari yang memang mudah tertinggal seperti telepon genggam, payung, sampai barang yang terlihat mustahil bisa ditinggalkan pemiliknya seperti 2 buah kopor besar untuk bepergian, televisi berwarna 14 inchi, sampai celana dalam wanita.

Di suatu malam Pak Dar pernah berteriak-teriak memanggil namaku sambil berlari dari kejauhan, dan ketika aku keluar dari kamar ia mendatangiku dengan selembar uang 100 dollar Amerika menempel di keningnya, sewaktu aku memberitahunya bahwa tindakan itu bisa menurunkan nilai tukar uang tersebut ia segera berlari mengambil kitab suci yang selalu ia bawa di taksinya dan menunjukkan 6 lembar lagi uang yang sama diselipkan rapih-rapih di lembaran-lembaran kitab suci itu.

Malam itu kami minum whiskey import sampai kami berdua tak sadarkan diri.

Aku melepaskan sepatuku, melemparkannya ke sudut ruangan, lalu duduk bersandar di dinding. Hari ini melelahkan sekali, pikirku. Sepi. Suara angin bahkan hampir tidak terdengar. Seperti biasanya aku merasa ada sesuatu yang duduk di sudut kamarku yang gelap karena tidak terkena cahaya lampu, dan itu membuatku tenang. Aku suka sekali sepi, seharusnya semua orang menyembah sepi, berdoa di setiap hari minggu atau sujud berserah diri kepadanya lima kali sehari.

Aku mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya, asap mengepul.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu lalu merogoh saku kanan celana jeans lusuhku, selembar kertas yang terlipat empat dengan rapih, walaupun sebetulnya itu tidak membantu karena sebelumnya kertasnya sendiri sudah berantakan tidak karuan. Kertas itu berwarna putih dan berisi tulisan tangan yang difotokopi sehingga membuatnya semakin sulit dibaca. Di bagian atasnya terdapat foto pemuda berusia 25 tahunan. Atau lebih muda dari itu tapi dia menderita cacat mental sehingga terlihat lebih tua.

AHMAD RIANDI, 19 tahun.
Ciri-Ciri : kulit sawo matang, rambut hitam ikal, tinggi 165cm, berat 45kg.
Meninggalkan rumah pada tanggal 2 Desember 2009, menggunakan kaos biru tua dan celana pendek olahraga merah putih.
Ada bekas luka jatuh di kening kanan, bicara tidak lancar, agak kurang ingatan.
Bila menemukan harap hubungi 021-4424778

Aku memperhatikan foto itu sebentar kemudian menempelkannya di dinding, diantara ratusan orang-orang sepertinya. Setidaknya disini ia mendapatkan tempat.

Tak lama kemudian pintu kamarku terbuka, seorang gadis masuk ke dalam. Gadis itu, lebih muda tak begitu jauh denganku, rambutnya hitam panjang terurai. Alisnya melengkung dengan sangat anggun menghiasi matanya yang juga hitam berkilat, seakan ia ingin menaklukkan seluruh dunia dengan mata itu. Ia adalah gadis terindah yang pernah kukenal, bahkan semenjak aku belum mengerti apa itu indah. Dan seperti apa rasanya tak bisa memilikinya. Ia sangat cantik kalau sedang tersenyum dan bahkan lebih cantik lagi ketika tertidur pulas. Gadis ini adalah satu-satunya wanita yang bisa membuatku terlihat bodoh ketika berdiskusi dengannya. Dan entah kenapa aku suka itu.

"Lagi ngapain kamu?"

Ia memandangiku seakan aku adalah orang asing yang mencuri masuk ke kamarnya diam-diam ketika ia pergi.

"Tutup pintunya, silau." Aku memicingkan mata sambil setengah menutupinya dengan tangan kiriku.

Ia menutup pintu lalu bergabung denganku di tengah temaram ini. Aku memperhatikannya duduk di depanku lalu mengeluarkan sebungkus makanan dari kantong plastik hitam yang dibawanya.

"Makan nih, aku bawain makanan. Kamu belum makan kan?"

"Nanti aja ah, males."

"Kamu kapan sih ngga males." Ia mengatakan itu tanpa melihat ke arahku sambil menyalakan rokoknya.

"Dari mana kamu?"

"Dari rumah." Asap mengepul dari bibirnya yang tipis. Bibir yang sangat kukenal. Aku menatapnya dalam. Ia menunduk. Sesaat kemudian ia melirikku dan langsung membuang muka saat tahu aku sedang memandanginya.

Aku bertanya pelan, "Ada apa?"

"Ngga ada apa-apa."

"Ini jam 2 pagi lho, kok kamu bisa keluar rumah jam segini?"

Ia terdiam sejenak, hanya sejenak tapi sudah lebih dari cukup untukku mengetahui bahwa ia berbohong.

"Iya aku dari rumah teman, tadinya mau langsung pulang tapi malah jadi kesini."

"Terus?"

"Ya aku mau tidur disini."

"Terus nanti sewaktu kita bangun Mama udah ada di depan pintu kamarku?"

Ia terdiam lagi.

"Tidak mungkin, Mama taunya aku tidur di rumah temanku."

Ia tahu dengan mengatakan itu berarti ia membiarkanku mengetahui satu hal lagi yang ia tutupi.

"Berarti kamu emang ngga niat pulang dari awal?"

"Iya. Dan kamu pasti sudah tau dari pertama tadi aku datang kesini."

"Memang."

Aku merangkulnya dan membiarkan ia menyenderkan kepalanya di pundakku. Sekarang aku tak takut lagi, pagi boleh datang kapan saja. Aku sudah memiliki semuanya.

Duapuluh Empat

Aku bertemankan sebungkus nasi
Sejumput sayur setengah basi
Dan selembar telur mata sapi

Agak hambar seakan asin itu dosa
Dan aku menikmatinya seperti digentayangi surga

Bukan karena lapar yang terbiasa
Sederhana saja
Perempuan tua penjual nasi tadi bercerita tentang bagaimana ia rela mati hina untuk anak-anaknya
Tentang bagaimana suaminya pergi di suatu pagi buta
Dan tak pernah kembali...

Dustakah itu tadi...??
Atau indahnya nurani...??

Setauku orang seperti dia tak punya alasan untuk berdusta
Atau tak tau caranya
Terlebih ketika ia dengan tegar menceritakan suaminya
Ada yang bilang suaminya beristri muda
Ada yang bilang mati ditembak tentara
Dan ia pun hampir tertelan air mata ketika kembali teringat anaknya

Indahnya duniaku bukan...??
Aku berbincang dengan pahlawan cinta saat kau tengah sibuk diperkosa manisnya Jakarta

Ciumlah kaki ibumu, kawan...
Karena Tuhan tidak pernah tidur...

(Pintu gerbong 3 KA Ekonomi Jogja-Jakarta. Suatu malam di bulan Februari, 5 jam sebelum stasiun Jatinegara)

Duapuluh Tiga

Kaukah itu yang tadi malam berkelebat dalam mimpiku...??
Mengenakan bahasa-bahasa angin yang dengan indahnya membungkus sebagian tubuhmu yang biru

Tak ada tempat untuk kelam
Sekalipun itu terang

Kau tak lagi bersuara, Senja...
Berpendar pelan-pelan menerangi malam-malam yang berhiaskan setan-setan
Aku dan kamu telah menjadi kita...awan-awan berserakan

Inikah yang selama ini kau lukis...??
Lampu-lampu kota yang mengedip-ngedip malu
Langit bumi tak kenal hati

Kaukah itu yang tadi malam berkelebat dalam mimpiku...??
Karena seindah apapun itu...mimpi tetaplah mimpi...

Duapuluh Dua

Aku pernah melihat egoku sendiri
Dan ia cantik sekali
Membelai otak kiriku agar sebisa mungkin tak mencampuri logika
Memandangiku dengan sibuknya melipat perahu-perahu kertas bercahaya

Aku mau satu malam lagi
Tak peduli air mata pagi

Melepaskan sesuatu yang tak pernah kumiliki

Lagipula aku tak bermakam,
Setelah menemanimu dalam mimpimu yang begitu terang dan sebentar itu.

Duapuluh Satu

Retaklah
Karena aku tidak mengenalmu ketika kau adalah sempurna
Bisik yang patah
Kemana saja kau selama ini...??
Aku kehilangan dongeng tanah basah yang dulu selalu kita tertawakan tanpa suara

Atau mungkin tempat ini memang sudah mati bahkan sebelum kita datang tadi
Atau mungkin ada yang mencurinya selagi kita pergi
Atau mungkin kita tidak membungkusnya dengan rapi
Persetan
Aku tak mau lagi
Dan lagi kau pasti sudah bosan melihatku membusuk
Bukankah aku tak mau lagi...??

Kau hanyalah manusia
Seindah senja
Seluruh semesta

Aku imaji
Air mata pagi
Lukisan mimpi

Mungkin kau adalah senja
Atau mungkin kau hanyalah segalanya

Duapuluh

( pintu diketuk, membuyarkan lamunanku. lamunan? rongga kepala ini sungguh gaduh. ini pasar malam. pintu diketuk lagi, berkali-kali, dan kali ini lebih kasar. persetan. ini tengah malam.)

Siapa itu?

Bukan siapa-siapa.

Tidak Mungkin! Siapa?

Aku bukan siapa-siapa. hanya suara ketukan pintu.

Darimana kau datang?

Sarang Merak.

Demi Tuhanku yang tidak pernah terlihat, aku bahkan tidak tahu itu dimana!

Memang. Dan akan tetap seperti itu.

Pergi! Pergi! Pergi!

Tidak bisa, kau selalu lari dariku. Kali ini tidak bisa.

Aku tidak lari!

Kau lari. Seakan kau mempunyai ratusan bilik untuk bersembunyi. Dan kau pun tahu cepat atau lambat pasti akan tiba saat seperti ini.

Tapi tidak secepat ini! Kau curang!

Curang? Curang hanya fitnah keji orang kalah. Kenapa kau takut? Aku hanyalah bunyi.

( aku terduduk kaku. lidahku kelu. malam merayakan hening dengan hitam. biadab.)

Sembilanbelas

Ada suara di dalam kepalaku
Teriakan-teriakan riang anak-anak kecil tak bernama
Berlarian mengejar satu sama lain
Tertawa membelai mati
Menunggu baiknya sepi
Tepat sewaktu malam meninggi

Mereka sangat menyenangkan
Bermata merah dengan usus-usus terburai yang menghiasi lantai
Terkekeh-kekeh mengunyah satu sama lain
Dan salah satu dari mereka berjalan dengan tak semestinya karena kakinya membusuk
Benar
Membusuk
Tapi menyenangkan
Setidaknya mereka menemaniku melewati malam
Saat aku terduduk tanpa melawan di sudut ruangan
Mereka menari membuat lingkaran dan bersorak ketika ku menangis
Aku harus menangis
Tidak boleh tidak
Nyawaku mencari perhatian
Nalarku ingin disaksikan

Lihatlah kesini
Perhatikan mereka menempelkan wajahnya ke wajahmu
Menyeringai dengan indahnya
Mereka pernah menemaniku melewati semua
Di malam yang paling hening dan paling hitam
Di perih yang paling kejam dan luka yang paling dalam
Mereka menyukai sepi
Seperti aku menyukai mati
Berhentilah menjerit kawan
Telingaku sakit
Pergi
Aku tak mau lagi

Delapanbelas

Tidakkah terlalu indah jika kita bertuhankan senja sayangku..??
Atau mengharapkan tawa sedikit saja
Seperti sepasang mata kecil yang selalu mengintip dari balik kotak kayu berbentuk hati di perkaranganmu
Tidakkah terlalu murah...??
Saat mereka melukismu dengan segala carut-marut warna yang dulu kita tertawakan dan aku bahkan tak bisa berbuat apa-apa

Nalarmu memudar
Mengembun dengan anggun
Sementara kau tertelan mimpimu sendiri di tepian cerahnya hari
Mengubahmu menjadi tak lebih dari benda mati

Apalah aku ini sehingga harus kehilangan lamunan-lamunan kecil itu..??
Kita pernah berjalan beriringan di atas awan selagi padang-padang ilalang diguyur hujan
Dan tetap berjalan tak peduli riuh rendah hingar bingar kehidupan

Atau hanya bayanganku yang melihatmu seperti diselimuti cahaya biru..??

Tujuhbelas

Diam..
Dan perhatikan bagaimana kita perlahan tenggelam
Dengan segala buih pembenaran yang tak pernah berhenti mengisi keringnya retorika
Dengan segala luka yang entah darimana datangnya
Bagaimana aku bisa melewatkanmu ketika kau selalu mengingatkanku akan candu..??
Melumat setiap bayangan tiap kali kau tersenyum kepadaku tanpa sedikitpun keluh enggan

Percayalah..
Ini bukan sunyi
Sepi yang kutahu lebih hening dari ini
Melentik-lentik cantik mengaburkan batasan-batasan mimpi
Terus seperti itu dan selalu berakhir dengan aku tertidur dimanjakan nyaman lengkung alismu
Bukankah selama ini kita sudah terbiasa seperti itu..??

Ini tak akan pernah selesai, sayangku..
Kita hanya menari sia-sia walau memang masih diiringi irama yang sama
Langkah tersipu
Dan tatapan parau..

Enambelas

Pernahkah kau mau melakukan apapun untuk seseorang...??
Hingga suatu saat bibirmu bergetar menahan tangis ketika dia meminta kepadamu sesuatu yang tak mungkin bisa kau penuhi...??
Dan kau tetap mencoba...

Saat itulah semua saling merindukan
Dan saling melupakan di saat yang bersamaan

Aku tidak pernah lelah
Terjaga sepanjang malam tanpa kau sadari
Menemanimu memimpikan sekotak sunyi yang bahkan demi tuhan aku tak mengerti
Pernahkah sekali saja kau tanyakan kenapa aku tak mau pergi..??
Sekali saja...tanyakan kenapa aku seperti ini..??

Semoga malam nanti kau tak bermimpi
Sehingga kau menggodaku untuk merayumu lagi

Seperti dulu kita mengartikan pagi dan mengubur sepi
Seperti dulu kita tak butuh kata untuk bercerita dan tak butuh suara untuk tertawa

Jangan pernah takut kehilangan, sayangku...
Takutlah kita tidak punya apa-apa lagi untuk dihilangkan...

Jumat, 16 April 2010

Limabelas

Ketika itu malam hari
Dengan segala keindahan sepi yang kau tahu dengan pasti aku menyukainya
Tidak...lebih dari itu...aku selalu memujanya
Entah itu pertunjukan mimpi orang-orang yang mati suri di sekeliling kita
Atau sekalipun itu sudah jelas bau busuk yang merambat pelan hampir diam keluar dari trotoar yang seingatku tak pernah peduli
Lalu kau mau apa...??

Perhatikanlah seisi semesta ini merayakan malam dengan hitam
Ini memang seperti perayaan
Keheningan yang sungguh terlalu gaduh
Dan seperti biasa aku hanya bisa tertawa melihatmu berusaha menghiburku dengan sarang merak itu
Tetaplah hitam

Kau lihat orang yang sedang memuji cermin di jalan membosankan itu sebelum kita sampai disini...??
Yang berjalan meraba gelap karena darah kita memenuhi kelopak matanya
Antarkan aku ke penciptamu
Karena aku belum pernah melihatmu seindah ini
Bahkan mimpi kita pun tak pernah seindah ini

Dan memang benar ketika kelam mulai menggeliat nanti aku akan menikam tubuhmu
Begitu dalam sehingga dari lubang-lubang luka itu mengalirlah air mata yang selama ini kau sembunyikan dariku dengan tulusnya
Membelai segala macam endapan-endapan emosi yang tertinggal di balik rapuhnya hati
Seperti yang dulu selalu kita lewati
Ditemani lampu minyak yang sesekali tersenyum dirayu angin sunyi

Tetaplah begini
Tetaplah menjadi tak lebih dari mimpi
Seindah apapun itu

Setelah aku selesai menunggu senja ini tenggelam sekarat merah pucat dengan caranya sendiri
Sapalah aku di tengah malam sepi
Miliki semua waktu yang kita butuhkan untuk mengatakan betapa indahnya ini sebelum pagi mengusirmu pergi

Dan jangan khawatir
Aku akan kembali menunggu senja itu tenggelam lagi...

Empatbelas

Aku milik bumi

Menutupi tanah-tanah basah dan daun-daun kering
Diarak awan-awan merah menghiasi anak-anak angin

Menyusuri setapak batu beraroma manusia-manusia tak punya hati
Seperti gaun sutra merah yang menyelimuti kota tua di mimpiku malam tadi

Ambillah aku saat malam mengendap-endap nanti
Dan jangan pernah kembalikan aku ke tempat laknat ini lagi

Jangan pernah

Tembok-tembok ini sangat membenciku seperti mimpi membenci pagi
Seperti ibu menangisi bayinya yang terburai di tengah malam sepi

Aku milik bumi

Menari-nari di hamparan luas padang ilalang
Dan lihatlah aku merentangkan tangan menemani tarikan nafasku yang panjang

Aku milik bumi

Ambillah aku malam nanti

Aku tak sabar menyapa mati

Tigabelas

Aku sebuah catatan

Dari pikiran yang terbuang
Sebagian logika yang menghilang
Dan tubuh yang meradang

Ketika aku bercumbu dengan ruang dan bercinta dengan waktu
Tuhanku adalah otak kanan, imajinasi, dan khayalan

Ketika kesadaranku tersesat di tengah manisnya malam
Teman bicaraku hanyalah rasa sakit yang menuntunku dengan sepenuh nalar
Bersenda gurau dengan potongan-potongan tubuh hambar
Menenggelamkan segala jeritan putus asa selagi aku mencarimu

Dekat dengan nyala sepi ditingkahi tatapan yang membisu
Temuilah aku disitu saat hatimu terkikis habis nanti
Dan bawa seluruh akal sehatmu
Kita akan butuh itu untuk membereskan seluruh hancuran impian-impian kecil ini

Dan seandainya aku tak ada disitu
Carilah aku disela-sela kehidupan yang pernah memberi kita nyawa

Karena saat aku bersetubuh dengan Tuhan
Aku kehilangan hakikatku sebagai manusia

Betapa indahnya kita...

Duabelas

( aku terduduk memandang keluar jendela. menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip malu dan membuatku sedikit terlena -sedikit saja- sambil merayakan angin yang sesekali bertiup dingin dengan liciknya.aku pernah sangat mengenal ruangan ini. sepi. sangat sepi. terlalu sepi.)

Hei...
Duduklah disini
Aku ingin bercerita tentang panasnya hari
Dinginnya malam
Dan hangatnya mimpi

Karena saat hujan turun berkejar-kejaran dengan sombongnya nanti
Dan air mata jatuh menceritakan hati
Saat itulah waktu kita habis terbeli

Aku dan kamu adalah hidup sayangku
Aku dan kamu adalah mati
Mencaci dengan gelisah betapa bodohnya ruang dan waktu
Memaki putik-putik kehidupan yang perlahan layu.

Mana senyum itu
Aku mau tau
Senyum yang dulu membuat kita tak peduli dan tak ingin terbangun lagi
Aku mau itu
Aku mau kamu

Lekuk alis
Tulang pipi
Ceruk bibir
Imajinasi

(matanya mulai membasah. dan tetap indah. dia menyiksaku. seharusnya aku menyeka pipinya seakan tak terjadi apa-apa. dan dia tau aku tak bisa.)

Dulu kita seperti ini sepanjang pagi
Terdiam tak bersuara tapi saling bercerita
Terluka lebih dalam lagi tapi saling mengerti

Kita tak butuh kata untuk tertawa
Aku tak butuh nyawa untuk selamanya

Tidurlah
Aku tau kau lelah
Dan aku mau kau berjanji
Saat kau terbangun nanti
Peluklah aku dengan segala luka yang kumiliki

( ...dan aku terduduk memandang keluar jendela. menatap lampu-lampu kota... )

Sebelas

Ketika kelam datang
Kemudian terang hilang
Akulah sang pecundang

Menangisi sesuatu yang kuharap ada
Meratapi malaikat mimpi sekilas semesta

Ini semua bohong
Selama ini aku meniduri anganku dengan buaian omong kosong

Ketika logika patah
Diikuti pagi yang sempurna merekah
Akulah sang kalah

Menyanyikan sesuatu yang tak bernada
Menari-nari seakan semua ini tercipta untuk kita

Ini semua palsu
Selama ini aku membasuh lukaku dengan candu

Hilanglah seperti aku
Hancurlah sambil lalu

Karena ketika akhirnya kau mengerti arti dari ini semua
Aku sudah tidak ada disini untuk mendengarmu bercerita

Sepuluh

Aku tersandar lemah
Menangisi pecahan mimpi malam tadi
Mengetuk-ngetuk isi kepalaku seakan ingin membenarkan
Meneriaki telingaku seakan ingin membangunkan

Dan orang-orang itu terus berdatangan
Mengulurkan tangan atau apa saja yang bisa mereka ulurkan
Menjanjikan kita awan-awan putih seperti mereka mengerti apa yang kita mimpikan

Aku terdiam lelah
Menyesali pecahan mimpi malam tadi
Membasahi matamu yang menyimpan semua indahnya kita
Menyusuri hatimu yang tak pernah bisa aku miliki terlalu lama

Dan orang-orang itu terus berdatangan
Mengejar apa saja yang bisa mereka kejar
Melupakan isi hati mereka yang perlahan habis menjijikkan

Semua tertawa
Semua bercerita
Tentang terkutuknya kita yang tak seperti mereka
Tentang menyedihkannya ini semua

Aku tersandar lemah kehabisan darah
Aku terdiam lelah tak mau menyerah

Dan aku ingin tetap disini
Terkutuk dan menyedihkan
Seakan mereka mengerti apa yang kita mimpikan

Sembilan

Aku mau pola darah yg indah di bajuku
Aku mau suatu cipratan merah yg acak d lantaiku
Ayo..
Atau perlu kugigit lidahku sendiri untuk menemanimu?
Katakan saja
Jangan sungkan
Kita sudah seperti saudara
Kurang hitam..!!
Persetan..!!
Aku mau darah yang hitam..!!
Bukan merah pekat seperti langit barat yang sekarat..!!
Aku mau hitam kelam seperti gelap malam..!!
Jangan berisik..ini sudah malam..
Persetan..!!
Aku selalu menang melawan malam..!!
Aku mau darahku hitam..!!
Dan singkirkan suara2 bayi ini dari dalam kepalaku..!!
Tak berguna..!!
Mana rasa sakit yang kau janjikan..!!
Mati rasa itu membosankan..!!
Gelap mati kosong pekat luka perih darah sepi hampa sayat pedih tangis mati gelap perih sayat luka sepi pedih darah gelap mati pekat luka hampa sepi perih gelap kosong darah tangis pekat gelap luka mati..!!

Delapan

Aku ini kenapa...??
Pelankan musik itu dan dengarkan imajinasiku bernyanyi
Redupkan lampu itu dan amati egoku menari

Tuhan....!!!! Kembalikan logikaku....!!!! Ku laknat kau....!!!!

Aku ini kenapa...??
Tertawalah kalian yang sudah sepantasnya melihat dia tertawa
Karena dia adalah mimpiku
Hal paling indah yang pernah terjadi padaku
Menangislah kalian yang sama sekali tidak pantas melihat dia menangis
Karena dia adalah langitku
Lebih biru dari segala sesuatu yang menurutmu biru
Lebih luas dari segala sesuatu yang pernah kau mau

Aku ini kenapa?
Berjalan membelai hamparan ladang bunga dengan kaki terluka
Sambil mengusap darahku yang tercecer di belakang dengan air mata senja

Tuhan...!! Kembalikan akal sehatku...!! Atau apapun itu...!!

Aku ini kenapa?
Tertidur di pantai berpasir hangat dengan ombak yang mengangguk malas dan bermahkota surga
Selagi otak kananku berontak dan berbisik ini semua terlalu sempurna

Terus berbisik...terus berbisik...

Aku sedang jatuh cinta

Tujuh

Aku adalah sepotong kaca murah yg pecah terbelah ke segala arah
Perih merintih
Pedih memutih

Aku adalah terang pasar malam yang melawan matahari siang
Menyala sia-sia
Gaduh tak bersuara

Bukan aku tak mau menjadi hiasan dinding ungu pucatmu itu
Atau menjadi kumpulan warna yang bisa menyinarimu sepanjang waktu

Karena pecahan-pecahan kecil ini kau tahu aku ada
Walau aku tahu itu membuatmu terluka

Karena cahaya redup ini kau tahu aku selalu terjaga
Seandainya tengah malam nanti kau terbangun dan memintaku untuk menceritakan sebuah cerita

Aku adalah apa yang kau sebut air mata pagi
Kecil tak berarti
Dan kemudian menghilang ditelan hari

Aku adalah semua yang tak pernah kau lewati
Dan aku tak mau beranjak pergi....

Enam

Aku pernah menjadi seberkas cahaya
Yang memberimu pelangi dan melukisnya dengan warna yang sempurna
Menerangi seluruh duniamu tanpa kau minta
Tetap menjadi cahaya walau tak pernah kau sapa

Aku pernah menjadi indahnya nada
Yang kau nyanyikan saat kau tak ingin aku tahu apa yang kau rasa
Menyembunyikan air matamu yang tak pernah bersuara
Tetap menjadi nada walau tak pernah kau jaga

Aku adalah sekotak luka sayangku
Begitu indah sehingga aku tak mau beranjak pergi
Begitu sakit sehingga aku mendambakan pagi

Maukah kau membawaku pergi dari sini?
Aku terlalu lelah untuk semua ini
Dan maukah kau membawaku ke tempat Tuhanmu yg dulu selalu kau kunjungi?
Karena aku suka melihatmu bersujud di tanah yg dulu selalu kau tangisi

Aku adalah air mata sayangku
Yang selalu terlihat begitu indah saat menetes di pipimu
Melebihi semua cahaya dan nada yang pernah kuberikan padamu

Lima

Kau dengar itu?
Mereka menertawakan kita
Karena kita membangun sekeping surga
Kemudian meletakkannya di dada dan mengirisnya dengan buaian cerita

Jangan menggodaku sayang
Kau tahu aku tak perduli itu cerita apa
Entah itu tawa tak berirama atau hanya air mata tak bermakna

Kau lihat itu?
Mereka menjauhi kita
Karena kita seakan menjadi buta
Berulang kali terjatuh mencari arah dan saling membasuh luka

Kau ingat itu?
Dulu kau tersenyum walau hanya kuberi pagi
Dan tersenyum lagi saat kutemani mengartikan mimpi
Kau selalu tersenyum walau hanya kuberi janji
Dan tersenyum lagi saat kutemani meraih tinggi

Tak apa sayangku
Pergilah kalau memang dia bisa memberimu seluruh hari
Memberikanmu sesuatu yang aku bahkan tak berani berjanji

Biarkan aku disini sendiri
Menjaga sekeping surga yang dulu pernah kita lewati

Empat

Tahukah kamu malaikatku
Yang kau minta aku untuk menyekanya dari keningmu itu adalah darahku?
Yang kau minta aku untuk menahan perihnya itu adalah paru-paruku?
Yang kau minta aku untuk berhenti mengirisnya itu adalah nadiku?
Kau adalah udara dari nafas terakhirku
Pesan dari teriakan putus asaku

Suara suara ini membuatku muak sayangku
Dan ruangan ini makin sempit sampai akhirnya hanya cukup untuk kau dan aku

Ludahi aku sekali lagi

Sandarkan kepalamu di dadaku lagi
Sampai kau tertidur dan yang tersisa hanyalah hembusan nafasmu seperti biasanya
Seperti biasanya kita mengartikan malam

Tahukah kamu embunku
Aku ingin menangis lagi di keningmu
Mengeluarkan semua sumpah serapah melawan sakitku
Sampai akhirnya kau menyandarkan kepalamu lagi di dadaku...

Tiga

Pernahkah kau merasa seluruh badanmu memusuhimu
Seperti perut kananku yang memberontak dan bercampur aduk menjadi satu
Aku ingin terburai
Menumpahkan seluruh isi perutku hingga mengotori lantai
Nafas yang semakin pekat
Jangan pernah menyuruhku untuk diam
Muak
Sesak
Aku ingin terbelah
Berdarah tanpa lelah
Sepi
Kosong
Hitam
Mati
Tolong berhenti sebelum aku mengunyah jantungku sendiri...

Dua

Tanyalah darahku
Yang setiap malam membentuk cipratan indah di baju
Yang setiap malam membentuk pola acak di lantai
Tanyalah pisauku
Yang setiap malam terasa dingin di lengan
Yang setiap malam menertawakan air mata
Tanyalah nafasku
Yang setiap malam menyesakkan setiap jengkal ruang di dada
Yang setiap malam membuat suara suara pilu di pangkal lidah
Tanyalah darahmu
Yang hanya diam dan merah membisu
Karena darahmu menyakitiku...dan terus menyakitiku...

Satu

Aku ingin pagi
Bahagia tanpa luka
Hancur tanpa tawa

Aku ingin pagi
Jujur tanpa dusta
Remuk tanpa asa

Aku ingin pagi
Bosan tanpa jeda
Ramai tanpa suara

Aku ingin pagi
Muak tanpa air mata
Kosong tanpa cahaya

Aku ingin pagi
Retak tanpa noda
Tegar tanpa dosa

Aku ingin pagi
Sesak tanpa udara
Lapang tanpa semesta

Aku ingin pagi
Nyeri tanpa jiwa
Jatuh tanpa cinta

Aku ingin mati
Setelah semua ini tak berarti...dan hari tak kunjung pagi...