Senin, 19 April 2010

BAGIAN PERTAMA

Pintu kamar terbuka perlahan, bersamaan dengan suara derit yang seolah berfungsi sebagai penanda bagi -apapun itu- yang sedang berada di dalam kamar bahwa penghuni yang sebenarnya sudah datang.

Aku masuk kedalam kamar dan menutup pintu.

Gelap. Barulah tak lama kemudian aku dapat menemukan saklar lampu sehingga sedikit cahaya dari lampu tidur kecil menerangi kamar itu, temaram saja.

Kamar ini jelas bukan kamar yang nyaman untuk ditinggali kalau tidak mau dibilang absurd, sedikitnya ada tiga buah asbak yang sudah terlalu penuh dengan puntung rokok dan baju-baju kotor yang terserak begitu saja di lantai, dindingnya dicat hitam dan dipenuhi dengan tulisan-tulisan kapur putih yang terlihat acak dan pudar di beberapa bagiannya, sedangkan satu sisi terakhir disesaki dengan puluhan selebaran pengumuman orang hilang yang menempel tumpang tindih karena sudah tidak ada ruang lagi. Aku selalu merasa potret orang-orang hilang tersebut punya kesedihan bercampur amarahnya sendiri-sendiri dan saling berebut ingin didengarkan, atau sebaliknya mereka justru mendapatkan ketenangan dan kehidupan yang mereka cari setelah dianggap "hilang" oleh keluarga atau siapapun itu yang merasa kehilangan atas bebasnya mereka.

Lalu ada lemari buku di sudut dinding dekat jendela, lemari buku itu adalah satu-satunya bukti bahwa penghuni kamar ini adalah makhluk yang beradab dan berbudaya, bahwa aku tidak mungkin meludah sembarangan, menyerobot antrian, atau selapar-laparnya membius gelandangan yang tertidur pulas di emperan toko lalu membawanya pulang untuk kujual organ-organ tubuhnya ke pasar gelap dan memakan sisa-sisa dagingnya mentah-mentah, setidaknya aku belum pernah berpikir untuk mencobanya. Menurutku membaca buku adalah suatu perjalanan dari ketidaktahuan yang berubah menjadi suatu perasaan aneh ketika selesai membacanya, senang rasanya mengetahui bahwa aku mengisi sedikit lagi rongga di dalam kepalaku dengan suatu hal yang baru.

Aku menyewa kamar ini 2 tahun yang lalu, di hari kelima aku melarikan diri dari rumah. Pemilik kamar kontrakan ini -ibu-ibu separuh baya yang dengan sedikit memaksa minta dipanggil Tante- bilang aku bebas melakukan apa saja di kamar ini asalkan aku membayar tepat waktu, 450 ribu rupiah setiap bulannya. Persis seperti yang kucari. Tante berjanji selama ia belum mendapatkan suami lagi ia tidak akan merubah peraturan itu. Yang kutahu suaminya melarikan diri bersama salah satu wanita yang juga penghuni salah satu kamar kontrakannya. Hanya itu yang dia ceritakan selama 2 tahun ini, tak lebih. Kalau melihat kelakuan serta dandanannya selama ini sepertinya peraturan itu takkan berubah untuk waktu yang lama.

Dan sepertinya ia benar-benar menepati janjinya, aku pernah melihat salah satu penghuni kontrakan ini bersama 3 temannya membopong seorang gadis muda yang sudah sangat mabuk kedalam kamarnya dan membuatku tak bisa tidur semalaman karena gadis itu menangis kesakitan sepanjang malam selagi pemuda-pemuda tengik itu tertawa-tawa tak kalah mabuknya dan berulang kali membentaknya agar ia diam, aku juga pernah menemukan seorang laki-laki tertidur di depan pintu kamarnya ketika aku pulang menjelang pagi dan aku baru tahu keesokan harinya kalau orang itu ternyata sudah mati dengan jarum suntik masih menempel di lengannya ketika 2 orang polisi berpenampilan seperti copet kereta api mengetuk kamarku menanyakan berbagai pertanyaan tentang orang itu yang sebagian besar kujawab dengan jawaban tidak tahu. Dan Tante tidak perduli, yang ia kutuk hanya karena orang itu meninggal sebelum membayar uang sewa kamarnya 2 bulan terakhir.

"Bayar saja uang sewamu paling lambat tanggal 5 setiap bulan. Setelah itu kamu mau menyembah setan? Silahkan, asalkan jangan berisik."

Aku ingat sekali pesan Tante sewaktu aku pertama kali pindah kesini, dan tampaknya dia punya definisi berisik yang sangat berbeda denganku.

Tetangga sebelah kananku bernama Pak Dar, supir taksi yang tak pernah berpakaian seperti layaknya supir taksi ketika dinas, kendaraannya pun tidak terlihat seperti taksi jika di atasnya tidak ada lampu bertuliskan taksi yang kini sudah berwarna putih polos karena tulisannya sudah pudar. Tebakanku Pak Dar berumur sekitar 60an, badannya kurus seperti meranggas dimakan angin malam, wajahnya tipikal seperti orang Jawa kebanyakan dengan tulang pipi yang menonjol dan dibungkus kulit tipis berwarna coklat matang. Rambutnya berwarna perak dan selalu disisir rapih ke belakang. Aku adalah teman bicara satu-satunya dan aku memang menyukai orang tua ini, ia bisa begitu bijak dan spontan dalam waktu yang bersamaan, ia bisa begitu fanatik sekaligus skeptis tanpa terlihat bodoh, tapi aku tahu pasti di balik itu semua ada perasaan kesepian yang sangat kuat, yang membuatku tak pernah punya cukup alasan untuk menanyakan tentang hal itu kepadanya.

Ia seperti punya aturan tidak tertulis "Jangan pernah tanyakan masa laluku kecuali aku yang menceritakannya terlebih dahulu kepadamu."

Pak Dar punya kebiasaan membawa pulang barang-barang penumpang yang tertinggal di dalam taksinya, apapun itu, dan aku terkejut ketika mengetahui barang apa saja yang ditinggalkan secara tidak sengaja oleh penumpang taksi, dari yang memang mudah tertinggal seperti telepon genggam, payung, sampai barang yang terlihat mustahil bisa ditinggalkan pemiliknya seperti 2 buah kopor besar untuk bepergian, televisi berwarna 14 inchi, sampai celana dalam wanita.

Di suatu malam Pak Dar pernah berteriak-teriak memanggil namaku sambil berlari dari kejauhan, dan ketika aku keluar dari kamar ia mendatangiku dengan selembar uang 100 dollar Amerika menempel di keningnya, sewaktu aku memberitahunya bahwa tindakan itu bisa menurunkan nilai tukar uang tersebut ia segera berlari mengambil kitab suci yang selalu ia bawa di taksinya dan menunjukkan 6 lembar lagi uang yang sama diselipkan rapih-rapih di lembaran-lembaran kitab suci itu.

Malam itu kami minum whiskey import sampai kami berdua tak sadarkan diri.

Aku melepaskan sepatuku, melemparkannya ke sudut ruangan, lalu duduk bersandar di dinding. Hari ini melelahkan sekali, pikirku. Sepi. Suara angin bahkan hampir tidak terdengar. Seperti biasanya aku merasa ada sesuatu yang duduk di sudut kamarku yang gelap karena tidak terkena cahaya lampu, dan itu membuatku tenang. Aku suka sekali sepi, seharusnya semua orang menyembah sepi, berdoa di setiap hari minggu atau sujud berserah diri kepadanya lima kali sehari.

Aku mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya, asap mengepul.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu lalu merogoh saku kanan celana jeans lusuhku, selembar kertas yang terlipat empat dengan rapih, walaupun sebetulnya itu tidak membantu karena sebelumnya kertasnya sendiri sudah berantakan tidak karuan. Kertas itu berwarna putih dan berisi tulisan tangan yang difotokopi sehingga membuatnya semakin sulit dibaca. Di bagian atasnya terdapat foto pemuda berusia 25 tahunan. Atau lebih muda dari itu tapi dia menderita cacat mental sehingga terlihat lebih tua.

AHMAD RIANDI, 19 tahun.
Ciri-Ciri : kulit sawo matang, rambut hitam ikal, tinggi 165cm, berat 45kg.
Meninggalkan rumah pada tanggal 2 Desember 2009, menggunakan kaos biru tua dan celana pendek olahraga merah putih.
Ada bekas luka jatuh di kening kanan, bicara tidak lancar, agak kurang ingatan.
Bila menemukan harap hubungi 021-4424778

Aku memperhatikan foto itu sebentar kemudian menempelkannya di dinding, diantara ratusan orang-orang sepertinya. Setidaknya disini ia mendapatkan tempat.

Tak lama kemudian pintu kamarku terbuka, seorang gadis masuk ke dalam. Gadis itu, lebih muda tak begitu jauh denganku, rambutnya hitam panjang terurai. Alisnya melengkung dengan sangat anggun menghiasi matanya yang juga hitam berkilat, seakan ia ingin menaklukkan seluruh dunia dengan mata itu. Ia adalah gadis terindah yang pernah kukenal, bahkan semenjak aku belum mengerti apa itu indah. Dan seperti apa rasanya tak bisa memilikinya. Ia sangat cantik kalau sedang tersenyum dan bahkan lebih cantik lagi ketika tertidur pulas. Gadis ini adalah satu-satunya wanita yang bisa membuatku terlihat bodoh ketika berdiskusi dengannya. Dan entah kenapa aku suka itu.

"Lagi ngapain kamu?"

Ia memandangiku seakan aku adalah orang asing yang mencuri masuk ke kamarnya diam-diam ketika ia pergi.

"Tutup pintunya, silau." Aku memicingkan mata sambil setengah menutupinya dengan tangan kiriku.

Ia menutup pintu lalu bergabung denganku di tengah temaram ini. Aku memperhatikannya duduk di depanku lalu mengeluarkan sebungkus makanan dari kantong plastik hitam yang dibawanya.

"Makan nih, aku bawain makanan. Kamu belum makan kan?"

"Nanti aja ah, males."

"Kamu kapan sih ngga males." Ia mengatakan itu tanpa melihat ke arahku sambil menyalakan rokoknya.

"Dari mana kamu?"

"Dari rumah." Asap mengepul dari bibirnya yang tipis. Bibir yang sangat kukenal. Aku menatapnya dalam. Ia menunduk. Sesaat kemudian ia melirikku dan langsung membuang muka saat tahu aku sedang memandanginya.

Aku bertanya pelan, "Ada apa?"

"Ngga ada apa-apa."

"Ini jam 2 pagi lho, kok kamu bisa keluar rumah jam segini?"

Ia terdiam sejenak, hanya sejenak tapi sudah lebih dari cukup untukku mengetahui bahwa ia berbohong.

"Iya aku dari rumah teman, tadinya mau langsung pulang tapi malah jadi kesini."

"Terus?"

"Ya aku mau tidur disini."

"Terus nanti sewaktu kita bangun Mama udah ada di depan pintu kamarku?"

Ia terdiam lagi.

"Tidak mungkin, Mama taunya aku tidur di rumah temanku."

Ia tahu dengan mengatakan itu berarti ia membiarkanku mengetahui satu hal lagi yang ia tutupi.

"Berarti kamu emang ngga niat pulang dari awal?"

"Iya. Dan kamu pasti sudah tau dari pertama tadi aku datang kesini."

"Memang."

Aku merangkulnya dan membiarkan ia menyenderkan kepalanya di pundakku. Sekarang aku tak takut lagi, pagi boleh datang kapan saja. Aku sudah memiliki semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar